Oleh: Zuriati RONGGENG PASAMAN
Ronggeng
Pasaman merupakan satu tradisi lisan Minangkabau yang terdapat di
Simpang Empat dan Simpang Tonang, Pasaman Barat, Sumatra Barat. Tradisi
ini berbeda dengan bentuk-bentuk tradisi lisan Minangkabau lainnya yang
sudah umum dan sudah banyak dibicarakan oleh para peneliti, seperti
rabab Pasisie, rabab Pariaman, dendang Pauh, sedawat dulang, indang, dan
si jobang. Perbedaan tersebut sangat dimungkinkan karena daerah tempat
tradisi ronggeng ini hidup merupakan daerah perbatasan antara Sumatra
Barat dengan Sumatra Utara. Masyarakatnya terdiri atas dua suku bangsa,
yaitu Minangkabau dan Batak (Mandailing) dan memiliki dua bahasa pula,
yakni bahasa Minangkabau dialek Pasaman dan bahasa Batak (Mandailing).
Dalam
pergaulan sahari-hari, mereka memakai bahasa Minangkabau dialek
Pasaman, atau campuran bahasa Minangkabau dialek Pasaman dengan bahasa
Batak (Mandailing), atau juga bahasa Batak (Mandailing) saja. Bilamana
saja mereka mempergunakan masing-masing bahasa ini tidak begitu penting
dalam pembicaraan ini. Persoalan ini membutuhkan penelitian lebih lanjut
dan tersendiri di bidang linguistik, khususnya sosiolinguistik. Namun
begitu, perlu dinyatakan di sini bahwa kenyataan-kenyataan yang
dikondisikan oleh masyarakat yang terdiri atas dua etnis ini
terefleksikan pula dalam tradisi lisan mereka, seperti dalam ronggeng
ini.
Kata `ronggeng’ mengingatkan pula pada satu
genre yang spesifik dan terkenal di Jawa, khususnya Sunda. Apakah kedua
tradisi ini secara kebetulan saja mempunyai nama yang sama, ataukah
keduanya mempunyai hubungan? Dengan demikian, ronggeng Pasaman ini
menjadi sangat menarik untuk dibicarakan, terutama dalam hal; Apakah
kedua tradisi itu mempunyai hubungan dalam arti apakah kedua tradisi itu
berasal dari salah satunya? Jika ya, bagaimana kemungkinan proses
transmisi yang dilaluinya?
Apa Itu Ronggeng Pasaman?
Ronggeng
Pasaman adalah satu tradisi lisan berupa seni pertunjukan yang terdiri
atas pantun, tari atau joget, dan musik. Pantun sebagai unsur penting
dalam tradisi ini didendangkan atau dinyanyikan oleh seorang penampil
`wanita’ atau “ronggeng” sambil berjoget mengikuti irama lagu. Dengan
demikian, penyebutan kata `ronggeng’ mengacu pada dua pengertian, yaitu
ronggeng sebagai satu bentuk seni pertunjukan dan `ronggeng’ sebagai
sebutan untuk pelaku (penampil) `wanita’ yang ahli dalam berpantun.
Ronggeng
Pasaman sebagai sebuah seni tradisi mempunyai fungsi hiburan atau
sebagai pelipur lara. Biasanya, seni tradisi ini dipertunjukkan pada
malam hari, mulai pukul sepuluh malam sampai pagi menjelang Shubuh
(kira-kira pukul lima pagi). Tempat pertunjukan, biasanya di lapangan
terbuka atau di pentas yang dibuat khusus untuk pertunjukan dan
dipertunjukkan dalam acara helat perkawinan atau dalam acara peringatan
keagamaan, seperti pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Pantun
merupakan unsur utama atau unsur inti dari tradisi ronggeng Pasaman.
Jenis pantun yang dibawakan adalah pantun muda-mudi dan didendangkan
atau dinyanyikan mengikuti irama lagu, seperti lagu “Cerai Kasih”,
“Kaparinyo”, “Buah Sempaya”, “Tari Payung”, “Mainang”, “Alah Sayang”
“Sinambang” dan “Si Kambang Baruih”. Dari beberapa irama lagu ini, irama
lagu “Kaparinyo” lebih dominan di Simpang Empat, sedangkan irama lagu
“Cerai Kasih” lebih dominan di Simpang Tonang. Pantun-pantun yang
didendangkan atau dinyanyikan mengikuti irama-irama lagu tadi
dilantunkan oleh `ronggeng’ dan penampil pria, sambil menari dan secara
bergantian. Gerak tari yang mereka lakukan sesuai pula dengan irama lagu
yang didendangkan.
Pantun-pantun yang didendangkan
atau dinyanyikan tersebut adalah dalam bahasa Minangkabau dialek Pasaman
(di Simpang Empat) dan campuran bahasa Minangkabau dengan bahasa
Mandailing (di Simpang Tonang, sekarang ini). Perbedaan dalam pemakaian
bahasa ini sangat dimungkinkan oleh letak daerahnya lebih dekat ke
perbatasan Sumatra Utara dan dalam pergaulan sehari-hari mereka lebih
sering memakai bahasa Batak (Mandailing) daripada bahasa Minangkabau
dialek Pasaman.
Dari irama lagu dan bahasa yang
dipergunakan dalam tradisi ronggeng Pasaman ini, dapat dikatakan bahwa
inilah salah satu contoh seni tradisi yang ada di daerah perbatasan,
yang lahir dan hadir di tengah-tengah masyarakat dari dua etnis yang
berbeda. Kedua bentuk ini pulalah yang dikatakan sebagai
kenyataan-kenyataan yang dikondisikan oleh percampuran masyarakat dari
etnis yang berbeda, yang terefleksikan dalam salah satu seni tradisi
masyarakatnya.
Penampil (pemain) dalam pertunjukan
ronggeng Pasaman terdiri atas satu orang penampil `wanita’ atau
“ronggeng”, tiga orang atau lebih penampil pria, dan lima orang pemain
musik. Dengan demikian, penampil (pemain) dalam ronggeng dapat dibagi
tiga, yaitu penampil `wanita’ atau “ronggeng”, penampil pria, dan pemain
musik.
“Ronggeng: merupakan unsur yang
terpenting di antara dua unsur lainnya. Kenyataan itu disebabkan
penampil pria dapat berasal dari penonton, dan pemain musik dapat pula
dijabat oleh banyak orang, artinya banyak orang yang dapat memainkan
alat musik. Akan tetapi, tidak semua orang (pria) yang mahir dan ahli
dalam berpantun dan juga tidak semua pria yang berkenan memakai pakaian
dan berdandan seperti wanita.
Seorang “ronggeng”
sebagaimana yang sudah dinyatakan di atas, haruslah seorang laki-laki
yang pandai dan ahli dalam berpantun serta berpenampilan atau berdandan
seperti wanita. Uleh karena keharusan ini pula, maka masyarakat
pendukungnya ada yang mengatakan, bahwa makna kata “ronggeng” itu adalah
seseorang yang juara pantun. Seorang juara pantun berarti pula seorang
yang ahli dalam berpantun. Keahlian berpantun ini harus dimiliki oleh
seorang “ronggeng” dimungkinkan oleh kenyataan, bahwa pantun-pantun yang
didendangkan atau dinyanyikan dalam pertunjukan tidak dipersiapkan dari
rumah, tetapi diciptakan dan digubah di arena pertunjukan. Dengan kata
lain, pantun-pantun itu diciptakan dan digubah berdasarkan kondisi yang
muncul di arena pertunjukan.
Di samping itu, seorang
“ronggeng” juga mempunyai pamaga diri `pemagar diri’, artinya, seorang
“ronggeng” itu mempunyai ilmu kebatinan. Ilxnu ini dipunyai adalah untuk
dapat tampil dengan baik, dalam arti menjaga kemungkinan terjadinya
berbagai hambatan selama pertunjukan berlangsung, terutama berkenaan
dengan suara. Pamaga diri `pemagar diri’ ini dimaksudkan untuk
menghindarkan dan menangkis gangguan ketika sedang dalam pertunjukan,
agar tidak ditungkek `ditongkat’ orang lain. Atau, untuk mencegah
terjadinya korek api panungkek lidah `korek api penongkat (penupang)
lidah’, yang dapat menyebabkan suara “ronggeng” menjadi hilang.
Istilah
ditungkek atau korek api panungkek lidah dimaksudkan untuk gangguan
yang dikirim melalui batin (magic) oleh orang lain. Orang lain ini dapat
saja berasal dari kalangan penonton, yang mempunyai tujuan tujuan
tertentu dengan jalan suara “ronggeng” tidak keluar ketika tampil.
Akibatnya, “ronggeng” tidak dapat berdendang dengan baik dan pertunjukan
tidak dapat dilanjutkan. Jadi, pamaga diri `pemagar diri’ ini
diperlukan untuk menghindarkan diri dari gangguan orang lain.
Berbeda
dengan “ronggeng”, biasanya, penampil pria berasal dari kalangan
penonton. Dengan demikian, siapa saja dapat menjadi penampil pria dalam
tradisi ini. Siapa saja yang dimaksudkan adalah semua pria yang juga
mempunyai kemampuan dalam berpantun. Akan tetapi, kemampuan berpantun
penampil pria ini tidak sebagaimana yang dipunyai oleh “ronggeng”.
Mereka dapat bertanya dan berdiskusi dengan penampil lainnya, ketika
mendapat kesulitan dalam membalas atau menjawab pantun yang didendangkan
oleh “ronggeng”. Atau, ketika sudah tidak dapat lagi mencipta dan
menggubah pantun yang akan didendangkan kepada “ronggeng”, mereka dapat
bertanya kepada penonton yang lain atau penonton yang lain itu
membisikinya. Juga, mereka dapat saja berhenti dan menjadi penonton
biasa kembali dan lalu digantikan oleh penonton yang lainnya.
Jumlah
penampil pria ini paling sedikit tiga orang. Satu di antaranya
berpantun dan berjoget dengan `ronggeng’ secara bergantian, sedangkan
dua penampil yang lain hanya berj oget saja, secara bergantian pula.
Artinya, penampil pria yang sedang menari berpasangan dengan “ronggeng”
lah yang berkewaj iban membalas pantun-pantun yang didendangkan oleh
“ronggeng” tadi. Dan, pantun-pantun yang didendangkan atau dinyanyikan
itu bersifat bebas, tidak membentuk suatu kesatuan cerita.
Pemain
musik dalam tradisi ronggeng relatif tertentu, seperti layaknya anggota
sebuah grup seni tradisi. Biasanya, pemain musik ini paling sedikit
terdiri atas lima orang; satu orang menggesek biola, dua orang memetik
gitar, satu orang memukul rebana, dan satu orang lagi memainkan
tamburin. Mereka bermain bersama mengiringi “ronggeng” dan penampil pria
mendendangkan pantun-pantun dengan irama lagu, seperti yang sudah
disebutkan di atas.
Dari awal hingga akhir
pertunjukan, para penampil beristirahat beberapa kali. Jumlah berapa
kali mereka beristirahat tidak tentu, tetapi tergantung pada kondisi
suara masing-masing. Biasanya, setiap kali sesudah istirahat terjadi
pertukaran irama lagu. Pertukaran irama lagu ini dapat pula berganti
atas permintaan para penonton (khalayak). Bagi penonton (khalayak),
pertukaran ilu diminta agar pertunjukan tidak monoton dan mereka tetap
bersemangat mengikuti pertunjukan itu sampai akhir.
Dalam
pertunjukannya, `ronggeng’ memakai baju kebaya atau baju kurung dengan
selendang diselempangkan di badan atau dikerudungkan di kepala. Penari
pria memakai baju biasa (pakaian sehari-hari) clan kadangkala memakai
selendang yang dililitkan di leher (terutama di Simpang Empat). Begitu
pula dengan pemain musik, mereka memakai pakaian sehari-hari. Khalayak
Berkenaan
dengan penonton (khalayak), ada dua pandangan terhadap tradisi ronggeng
Pasaman ini. Pertama, pandangan dari kaum tua (dari kalangan agama)
yang menganggap bahwa tradisi ini tidak sesuai dengan Islam. Anggapan
itu terutama disebabkan oleh adanya penampil pria yang berdandan
menyerupai wanita. Namun begitu, kalangan tua (agama) ini tidak sampai
melarang tradisi ini dipertunjukkan, dengan syarat tidak dipertunjukkan
di dekat lokasi mesjid, mushala, atau surau, apalagi di dalam ketika
tempat peribatan ini. Kedua, pandangan dari kaum muda yang menganggap
bahwa tradisi ini hanyalah sebuah dunia hiburan. Oleh karenanya, adanya
penampil `wanita’ yang diperankan oleh pria yang berdandan menyerupai
wanita bukanlah sesuatu yang salah. Hal itu justru dapat menghindari
terjadinya kekacauan dalam pertunjukan, karena jika penampil `wanita’
atau “ronggeng” itu diperankan oleh wanita , maka ketidaksesuaian dengan
Islam (iuga adat) itu menjadi semakin bertambah. Tentu saja, semua pria
berkeinginan untuk berpantun dan berjoget berpasangan dengan penampil
wanita dalam pengertian yang sebenarnya.
Kedua
pandangan di atas menyebabkan khalayak (penonton) ronggeng Pasaman ini
umumnya terdiri atas kaum muda. Kadangkala juga, di awal pertunjukan
dihadiri oleh anak-anak dan para wanita, dan mereka ini tidak akan
bertahan hingga akhir pertunjukan.
Meskipun ronggeng
Pasaman ini sudah agak jarang dipertunjukkan, tetapi ia masih dogemari
oleh masyarakat pendukungnya, terutama kaum muda, sampai saat ini.
Dengan demikian, dari pihak khalayak yang ikut mendukung dan menentukan
nasib sebuah seni tradisi, maka kelangsungan hidupnya untuk bertahan
terus belum perlu dikhawatirkan. Akan tetapi, dari segi pewarisan
penampil, dikhawatirkan tradisi ini tidak dapat bertahan lebih lama
lagi. Kekhawatiran itu muncul, mengingat pewarisan tradisi ini tidak
berjalan dengan lancar, terutama dalam hal “ronggeng”. Jika, tidak
terjadi pewarisan dari generasi penampil yang ada sekarang kepada
generasi di bawahnya, maka tradisi ronggeng Pasaman ini akan hilang pula
bersamaan dengan hilangnya (baca: meninggalnya) para penampil,
khususnya “ronggeng” yang ada sekarang ini.
Barangkali,
ada beberapa hal yang diperkirakan dapat menyebabkan mengapa pewarisan
tradisi ronggeng Pasaman ini berjalan dengan kurang lancar. Pertama,
anak muda atau pemuda sekarang ini merasa enggan apabila harus tampil
dalam pakaian dan dandanan wanita. Keengganan ini lebih pada diri
sendiri, karena merasa malu dan takut dikatakan masyarakat, terutama
penonton (khalayak) sebagai seorang `banci’. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan seorang “ronggeng”, bahwa ia merasa hina menjadi “ronggeng”
bila berhadapan dengan masyarakat dalam keseharian. Namun,
ditambahkannya, perasaan itu akan hilang beberapa saat menjelang
pertunjukan.
Jika dilihat dari sisi masyarakat
pendukungnya, perasaan malu dan takut tadi kurang beralasan. Dikatakan
demikian, karena masyarakat sendiri, apalagi penonton (khalayak) tidak
memandang dan tidak menganggap pekerjaan sebagai “ronggeng” itu rendah
atau hina. Seorang “ronggeng” itu tetap dapat diterima dan dapat
melakukan pekerjaannya sebagai layaknya seorang laki-laki normal.
“Ronggeng” itu hanyalah sebagai pekerjaan sampingan saja, maka ia tetap
dapat melakukan pekerjaan yang lain sebagai mata pencahariannya, seperti
bertani dan menambang emas.
Kedua, mereka itu hampir
dapat dikatakan tidak mempunyai kemampuan dan tidak mempunyai
kemahiran, serta tidak berminat dalam mencipta dan menggubah pantun
secara spontan. Padahal, kemampuan dan kemahiran dalam mencipta dan
menggubah pantun merupakan syarat utama bagi seorang “ronggeng’.
Transmisi Ronggeng
Dalam
bahasa Minangkabau tidak dikenal dan tidak ditemukan adanya kata
`ronggeng’. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa kata “ronggeng”
berasal dari tradisi yang ada di Jawa, khususnya Sunda. Demikianlah,
menurut Pak Usman, salah seorang pensiunan penilik kebudayaan di Pasaman
Barat, tradisi ronggeng Pasaman mempunyai hubungan dengan tradisi
ronggeng di Jawa (Sunda). Tentu saja, hubungan yang dimaksudkannya
adalah bahwa tradisi ronggeng Pasaman berasal dari tradisi ronggeng Ji
Jawa (Sunda). Bagaimana awal mula terbentuknya hubungan itu?
Berkenaan
dengan pernyataan dan pertanyaan di atas, ada beberapa ?endapat
mengenai bermulanya tradisi ronggeng Pasaman ini. Pertama, ronggeng
dibawa atau didatangkan dari Jawa oleh tentara Belanda untuk menghibur
para pekerja di perkebunan karet. Kedua, ronggeng itu diperkenalkan oleh
para pekerj a perkebunan yang didatangkan dan berasal dari Jawa untuk
menghibur sesamanya setelah lelah bekerja pada siang hari. Kedua
pendapat tersebut di atas mempunyai peluang untuk dapat diterima.
Alasannya, jika ronggeng itu didatangkan langsung dari daerah asalnya,
Jawa, maka penampil `wanita’ atau `ronggeng’ itu adalah wanita dalam
pengertian yang sebenarnya. Barangkali saja, dalam lingkungan
perkebunan, memang seorang wanitalah yang menjadi `ronggeng’. Jadi,
makna `ronggeng’ itu sama dengan yang ada di daerah asalnya.
Lamakelamaan, ia beradaptasi dengan lingkungan budayanya yang baru,
atau ia diambil alih oleh lingkungan kebudayaannya yang baru, dengan
cara menyesuaikannya dengan budayanya yang baru, yaitu budaya
Minangkabau, terutama dalam hal “ronggeng” dan pantun.
Dalam
budaya Minangkabau (berdasarkan agama clan adat) tidak dihalalkan
seorang perempuan (wanita) tampil dimuka umum, apalagi menari dan
berjoget dengan laki-laki. Seorang perempuan mempunyai kedudukan yang
terhormat dan mulia berdasarkan agama (Islam) dan adat. Jadi,
mempertontonkan wanita dalam suatu pertunjukan tradisi masyarakatnya
dianggap sebagai sesuatu perbuatan yang tabu. Oleh karena itu pula,
dalam seni tradisi Minangkabau lakon wanita itu diperankan oleh
laki-laki.
Namun, pendapat yang pertama dengan
alasan-alasan di atas kurang dapat diterima, karena menurut Pak Usman,
dalam kenyataannya dari dulu -sej ak ronggeng dikenal di daerah Pasaman-
sampai sekarang “ronggeng” itu adalah seorang pria. Dengan begitu,
pendapat yang tersebut kedua lebih dapat diterima. Dengan kata lain,
para pekerja perkebunan yang berasal dari Jawalah yang berkemungkinan
besar memperkenalkan tradisi itu, dan ketika diperkenalkan itu, ia
langsung disesuaikan dengan budaya yang baru, yaitu budaya Minangkabau.
Jadi,
sejak ronggeng itu diperkenalkan oleh para pekerja itu, sejak itu pula
ia menj adi bagian yang khas dari tradisi yang dimiliki oleh masyarakat
Pasaman, khususnya Pasaman Barat, sampai sekarang ini. Ronggeng Pasaman
tidak sama atau sama sekali berbeda dengan ronggeng Jawa. Mengapa
demikian? Pantun sebagai unsur utama atau unsur inti dalam ronggeng
Pasaman menunjukkan kenyataan itu. Selain itu, bahasa yang digunakan
dalam ronggeng Pasaman ini, yakni bahasa Minangkabau dan atau campuran
bahasa Minangkabau dengan bahasa Mandailing, memperkuat pemyataan di
atas. Apalagi, irama musik pengiringnya adalah irama musik Melayu dan
“ronggeng”nya adalah seorang pria berpakaian wanita. ***
Penulis adalah Staf Pengajar Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar