Alam

Alam
Indahnya Alam Andilan

Minggu, 22 April 2012

RONGGENG PASAMAN

Oleh: Zuriati RONGGENG PASAMAN
Ronggeng Pasaman merupakan satu tradisi lisan Minangkabau yang terdapat di Simpang Empat dan Simpang Tonang, Pasaman Barat, Sumatra Barat. Tradisi ini berbeda dengan bentuk-bentuk tradisi lisan Minangkabau lainnya yang sudah umum dan sudah banyak dibicarakan oleh para peneliti, seperti rabab Pasisie, rabab Pariaman, dendang Pauh, sedawat dulang, indang, dan si jobang. Perbedaan tersebut sangat dimungkinkan karena daerah tempat tradisi ronggeng ini hidup merupakan daerah perbatasan antara Sumatra Barat dengan Sumatra Utara. Masyarakatnya terdiri atas dua suku bangsa, yaitu Minangkabau dan Batak (Mandailing) dan memiliki dua bahasa pula, yakni bahasa Minangkabau dialek Pasaman dan bahasa Batak (Mandailing).
Dalam pergaulan sahari-hari, mereka memakai bahasa Minangkabau dialek Pasaman, atau campuran bahasa Minangkabau dialek Pasaman dengan bahasa Batak (Mandailing), atau juga bahasa Batak (Mandailing) saja. Bilamana saja mereka mempergunakan masing-masing bahasa ini tidak begitu penting dalam pembicaraan ini. Persoalan ini membutuhkan penelitian lebih lanjut dan tersendiri di bidang linguistik, khususnya sosiolinguistik. Namun begitu, perlu dinyatakan di sini bahwa kenyataan-kenyataan yang dikondisikan oleh masyarakat yang terdiri atas dua etnis ini terefleksikan pula dalam tradisi lisan mereka, seperti dalam ronggeng ini.
Kata `ronggeng’ mengingatkan pula pada satu genre yang spesifik dan terkenal di Jawa, khususnya Sunda. Apakah kedua tradisi ini secara kebetulan saja mempunyai nama yang sama, ataukah keduanya mempunyai hubungan? Dengan demikian, ronggeng Pasaman ini menjadi sangat menarik untuk dibicarakan, terutama dalam hal; Apakah kedua tradisi itu mempunyai hubungan dalam arti apakah kedua tradisi itu berasal dari salah satunya? Jika ya, bagaimana kemungkinan proses transmisi yang dilaluinya?
Apa Itu Ronggeng Pasaman?
Ronggeng Pasaman adalah satu tradisi lisan berupa seni pertunjukan yang terdiri atas pantun, tari atau joget, dan musik. Pantun sebagai unsur penting dalam tradisi ini didendangkan atau dinyanyikan oleh seorang penampil `wanita’ atau “ronggeng” sambil berjoget mengikuti irama lagu. Dengan demikian, penyebutan kata `ronggeng’ mengacu pada dua pengertian, yaitu ronggeng sebagai satu bentuk seni pertunjukan dan `ronggeng’ sebagai sebutan untuk pelaku (penampil) `wanita’ yang ahli dalam berpantun.
Ronggeng Pasaman sebagai sebuah seni tradisi mempunyai fungsi hiburan atau sebagai pelipur lara. Biasanya, seni tradisi ini dipertunjukkan pada malam hari, mulai pukul sepuluh malam sampai pagi menjelang Shubuh (kira-kira pukul lima pagi). Tempat pertunjukan, biasanya di lapangan terbuka atau di pentas yang dibuat khusus untuk pertunjukan dan dipertunjukkan dalam acara helat perkawinan atau dalam acara peringatan keagamaan, seperti pada hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.
Pantun merupakan unsur utama atau unsur inti dari tradisi ronggeng Pasaman. Jenis pantun yang dibawakan adalah pantun muda-mudi dan didendangkan atau dinyanyikan mengikuti irama lagu, seperti lagu “Cerai Kasih”, “Kaparinyo”, “Buah Sempaya”, “Tari Payung”, “Mainang”, “Alah Sayang” “Sinambang” dan “Si Kambang Baruih”. Dari beberapa irama lagu ini, irama lagu “Kaparinyo” lebih dominan di Simpang Empat, sedangkan irama lagu “Cerai Kasih” lebih dominan di Simpang Tonang. Pantun-pantun yang didendangkan atau dinyanyikan mengikuti irama-irama lagu tadi dilantunkan oleh `ronggeng’ dan penampil pria, sambil menari dan secara bergantian. Gerak tari yang mereka lakukan sesuai pula dengan irama lagu yang didendangkan.
Pantun-pantun yang didendangkan atau dinyanyikan tersebut adalah dalam bahasa Minangkabau dialek Pasaman (di Simpang Empat) dan campuran bahasa Minangkabau dengan bahasa Mandailing (di Simpang Tonang, sekarang ini). Perbedaan dalam pemakaian bahasa ini sangat dimungkinkan oleh letak daerahnya lebih dekat ke perbatasan Sumatra Utara dan dalam pergaulan sehari-hari mereka lebih sering memakai bahasa Batak (Mandailing) daripada bahasa Minangkabau dialek Pasaman.
Dari irama lagu dan bahasa yang dipergunakan dalam tradisi ronggeng Pasaman ini, dapat dikatakan bahwa inilah salah satu contoh seni tradisi yang ada di daerah perbatasan, yang lahir dan hadir di tengah-tengah masyarakat dari dua etnis yang berbeda. Kedua bentuk ini pulalah yang dikatakan sebagai kenyataan-kenyataan yang dikondisikan oleh percampuran masyarakat dari etnis yang berbeda, yang terefleksikan dalam salah satu seni tradisi masyarakatnya.
Penampil (pemain) dalam pertunjukan ronggeng Pasaman terdiri atas satu orang penampil `wanita’ atau “ronggeng”, tiga orang atau lebih penampil pria, dan lima orang pemain musik. Dengan demikian, penampil (pemain) dalam ronggeng dapat dibagi tiga, yaitu penampil `wanita’ atau “ronggeng”, penampil pria, dan pemain musik.
Ronggeng: merupakan unsur yang terpenting di antara dua unsur lainnya. Kenyataan itu disebabkan penampil pria dapat berasal dari penonton, dan pemain musik dapat pula dijabat oleh banyak orang, artinya banyak orang yang dapat memainkan alat musik. Akan tetapi, tidak semua orang (pria) yang mahir dan ahli dalam berpantun dan juga tidak semua pria yang berkenan memakai pakaian dan berdandan seperti wanita.
Seorang “ronggeng” sebagaimana yang sudah dinyatakan di atas, haruslah seorang laki-laki yang pandai dan ahli dalam berpantun serta berpenampilan atau berdandan seperti wanita. Uleh karena keharusan ini pula, maka masyarakat pendukungnya ada yang mengatakan, bahwa makna kata “ronggeng” itu adalah seseorang yang juara pantun. Seorang juara pantun berarti pula seorang yang ahli dalam berpantun. Keahlian berpantun ini harus dimiliki oleh seorang “ronggeng” dimungkinkan oleh kenyataan, bahwa pantun-pantun yang didendangkan atau dinyanyikan dalam pertunjukan tidak dipersiapkan dari rumah, tetapi diciptakan dan digubah di arena pertunjukan. Dengan kata lain, pantun-pantun itu diciptakan dan digubah berdasarkan kondisi yang muncul di arena pertunjukan.
Di samping itu, seorang “ronggeng” juga mempunyai pamaga diri `pemagar diri’, artinya, seorang “ronggeng” itu mempunyai ilmu kebatinan. Ilxnu ini dipunyai adalah untuk dapat tampil dengan baik, dalam arti menjaga kemungkinan terjadinya berbagai hambatan selama pertunjukan berlangsung, terutama berkenaan dengan suara. Pamaga diri `pemagar diri’ ini dimaksudkan untuk menghindarkan dan menangkis gangguan ketika sedang dalam pertunjukan, agar tidak ditungkek `ditongkat’ orang lain. Atau, untuk mencegah terjadinya korek api panungkek lidah `korek api penongkat (penupang) lidah’, yang dapat menyebabkan suara “ronggeng” menjadi hilang.
Istilah ditungkek atau korek api panungkek lidah dimaksudkan untuk gangguan yang dikirim melalui batin (magic) oleh orang lain. Orang lain ini dapat saja berasal dari kalangan penonton, yang mempunyai tujuan tujuan tertentu dengan jalan suara “ronggeng” tidak keluar ketika tampil. Akibatnya, “ronggeng” tidak dapat berdendang dengan baik dan pertunjukan tidak dapat dilanjutkan. Jadi, pamaga diri `pemagar diri’ ini diperlukan untuk menghindarkan diri dari gangguan orang lain.
Berbeda dengan “ronggeng”, biasanya, penampil pria berasal dari kalangan penonton. Dengan demikian, siapa saja dapat menjadi penampil pria dalam tradisi ini. Siapa saja yang dimaksudkan adalah semua pria yang juga mempunyai kemampuan dalam berpantun. Akan tetapi, kemampuan berpantun penampil pria ini tidak sebagaimana yang dipunyai oleh “ronggeng”. Mereka dapat bertanya dan berdiskusi dengan penampil lainnya, ketika mendapat kesulitan dalam membalas atau menjawab pantun yang didendangkan oleh “ronggeng”. Atau, ketika sudah tidak dapat lagi mencipta dan menggubah pantun yang akan didendangkan kepada “ronggeng”, mereka dapat bertanya kepada penonton yang lain atau penonton yang lain itu membisikinya. Juga, mereka dapat saja berhenti dan menjadi penonton biasa kembali dan lalu digantikan oleh penonton yang lainnya.
Jumlah penampil pria ini paling sedikit tiga orang. Satu di antaranya berpantun dan berjoget dengan `ronggeng’ secara bergantian, sedangkan dua penampil yang lain hanya berj oget saja, secara bergantian pula. Artinya, penampil pria yang sedang menari berpasangan dengan “ronggeng” lah yang berkewaj iban membalas pantun-pantun yang didendangkan oleh “ronggeng” tadi. Dan, pantun-pantun yang didendangkan atau dinyanyikan itu bersifat bebas, tidak membentuk suatu kesatuan cerita.
Pemain musik dalam tradisi ronggeng relatif tertentu, seperti layaknya anggota sebuah grup seni tradisi. Biasanya, pemain musik ini paling sedikit terdiri atas lima orang; satu orang menggesek biola, dua orang memetik gitar, satu orang memukul rebana, dan satu orang lagi memainkan tamburin. Mereka bermain bersama mengiringi “ronggeng” dan penampil pria mendendangkan pantun-pantun dengan irama lagu, seperti yang sudah disebutkan di atas.
Dari awal hingga akhir pertunjukan, para penampil beristirahat beberapa kali. Jumlah berapa kali mereka beristirahat tidak tentu, tetapi tergantung pada kondisi suara masing-masing. Biasanya, setiap kali sesudah istirahat terjadi pertukaran irama lagu. Pertukaran irama lagu ini dapat pula berganti atas permintaan para penonton (khalayak). Bagi penonton (khalayak), pertukaran ilu diminta agar pertunjukan tidak monoton dan mereka tetap bersemangat mengikuti pertunjukan itu sampai akhir.
Dalam pertunjukannya, `ronggeng’ memakai baju kebaya atau baju kurung dengan selendang diselempangkan di badan atau dikerudungkan di kepala. Penari pria memakai baju biasa (pakaian sehari-hari) clan kadangkala memakai selendang yang dililitkan di leher (terutama di Simpang Empat). Begitu pula dengan pemain musik, mereka memakai pakaian sehari-hari. Khalayak
Berkenaan dengan penonton (khalayak), ada dua pandangan terhadap tradisi ronggeng Pasaman ini. Pertama, pandangan dari kaum tua (dari kalangan agama) yang menganggap bahwa tradisi ini tidak sesuai dengan Islam. Anggapan itu terutama disebabkan oleh adanya penampil pria yang berdandan menyerupai wanita. Namun begitu, kalangan tua (agama) ini tidak sampai melarang tradisi ini dipertunjukkan, dengan syarat tidak dipertunjukkan di dekat lokasi mesjid, mushala, atau surau, apalagi di dalam ketika tempat peribatan ini. Kedua, pandangan dari kaum muda yang menganggap bahwa tradisi ini hanyalah sebuah dunia hiburan. Oleh karenanya, adanya penampil `wanita’ yang diperankan oleh pria yang berdandan menyerupai wanita bukanlah sesuatu yang salah. Hal itu justru dapat menghindari terjadinya kekacauan dalam pertunjukan, karena jika penampil `wanita’ atau “ronggeng” itu diperankan oleh wanita , maka ketidaksesuaian dengan Islam (iuga adat) itu menjadi semakin bertambah. Tentu saja, semua pria berkeinginan untuk berpantun dan berjoget berpasangan dengan penampil wanita dalam pengertian yang sebenarnya.
Kedua pandangan di atas menyebabkan khalayak (penonton) ronggeng Pasaman ini umumnya terdiri atas kaum muda. Kadangkala juga, di awal pertunjukan dihadiri oleh anak-anak dan para wanita, dan mereka ini tidak akan bertahan hingga akhir pertunjukan.
Meskipun ronggeng Pasaman ini sudah agak jarang dipertunjukkan, tetapi ia masih dogemari oleh masyarakat pendukungnya, terutama kaum muda, sampai saat ini. Dengan demikian, dari pihak khalayak yang ikut mendukung dan menentukan nasib sebuah seni tradisi, maka kelangsungan hidupnya untuk bertahan terus belum perlu dikhawatirkan. Akan tetapi, dari segi pewarisan penampil, dikhawatirkan tradisi ini tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Kekhawatiran itu muncul, mengingat pewarisan tradisi ini tidak berjalan dengan lancar, terutama dalam hal “ronggeng”. Jika, tidak terjadi pewarisan dari generasi penampil yang ada sekarang kepada generasi di bawahnya, maka tradisi ronggeng Pasaman ini akan hilang pula bersamaan dengan hilangnya (baca: meninggalnya) para penampil, khususnya “ronggeng” yang ada sekarang ini.
Barangkali, ada beberapa hal yang diperkirakan dapat menyebabkan mengapa pewarisan tradisi ronggeng Pasaman ini berjalan dengan kurang lancar. Pertama, anak muda atau pemuda sekarang ini merasa enggan apabila harus tampil dalam pakaian dan dandanan wanita. Keengganan ini lebih pada diri sendiri, karena merasa malu dan takut dikatakan masyarakat, terutama penonton (khalayak) sebagai seorang `banci’. Hal ini diperkuat oleh pernyataan seorang “ronggeng”, bahwa ia merasa hina menjadi “ronggeng” bila berhadapan dengan masyarakat dalam keseharian. Namun, ditambahkannya, perasaan itu akan hilang beberapa saat menjelang pertunjukan.
Jika dilihat dari sisi masyarakat pendukungnya, perasaan malu dan takut tadi kurang beralasan. Dikatakan demikian, karena masyarakat sendiri, apalagi penonton (khalayak) tidak memandang dan tidak menganggap pekerjaan sebagai “ronggeng” itu rendah atau hina. Seorang “ronggeng” itu tetap dapat diterima dan dapat melakukan pekerjaannya sebagai layaknya seorang laki-laki normal. “Ronggeng” itu hanyalah sebagai pekerjaan sampingan saja, maka ia tetap dapat melakukan pekerjaan yang lain sebagai mata pencahariannya, seperti bertani dan menambang emas.
Kedua, mereka itu hampir dapat dikatakan tidak mempunyai kemampuan dan tidak mempunyai kemahiran, serta tidak berminat dalam mencipta dan menggubah pantun secara spontan. Padahal, kemampuan dan kemahiran dalam mencipta dan menggubah pantun merupakan syarat utama bagi seorang “ronggeng’.
Transmisi Ronggeng
Dalam bahasa Minangkabau tidak dikenal dan tidak ditemukan adanya kata `ronggeng’. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa kata “ronggeng” berasal dari tradisi yang ada di Jawa, khususnya Sunda. Demikianlah, menurut Pak Usman, salah seorang pensiunan penilik kebudayaan di Pasaman Barat, tradisi ronggeng Pasaman mempunyai hubungan dengan tradisi ronggeng di Jawa (Sunda). Tentu saja, hubungan yang dimaksudkan­nya adalah bahwa tradisi ronggeng Pasaman berasal dari tradisi ronggeng Ji Jawa (Sunda). Bagaimana awal mula terbentuknya hubungan itu?
Berkenaan dengan pernyataan dan pertanyaan di atas, ada beberapa ?endapat mengenai bermulanya tradisi ronggeng Pasaman ini. Pertama, ronggeng dibawa atau didatangkan dari Jawa oleh tentara Belanda untuk menghibur para pekerja di perkebunan karet. Kedua, ronggeng itu diperkenalkan oleh para pekerj a perkebunan yang didatangkan dan berasal dari Jawa untuk menghibur sesamanya setelah lelah bekerja pada siang hari. Kedua pendapat tersebut di atas mempunyai peluang untuk dapat diterima. Alasannya, jika ronggeng itu didatangkan langsung dari daerah asalnya, Jawa, maka penampil `wanita’ atau `ronggeng’ itu adalah wanita dalam pengertian yang sebenarnya. Barangkali saja, dalam lingkungan perkebunan, memang seorang wanitalah yang menjadi `ronggeng’. Jadi, makna `ronggeng’ itu sama dengan yang ada di daerah asalnya. Lama­kelamaan, ia beradaptasi dengan lingkungan budayanya yang baru, atau ia diambil alih oleh lingkungan kebudayaannya yang baru, dengan cara menyesuaikannya dengan budayanya yang baru, yaitu budaya Minangkabau, terutama dalam hal “ronggeng” dan pantun.
Dalam budaya Minangkabau (berdasarkan agama clan adat) tidak dihalalkan seorang perempuan (wanita) tampil dimuka umum, apalagi menari dan berjoget dengan laki-laki. Seorang perempuan mempunyai kedudukan yang terhormat dan mulia berdasarkan agama (Islam) dan adat. Jadi, mempertontonkan wanita dalam suatu pertunjukan tradisi masyarakatnya dianggap sebagai sesuatu perbuatan yang tabu. Oleh karena itu pula, dalam seni tradisi Minangkabau lakon wanita itu diperankan oleh laki-laki.
Namun, pendapat yang pertama dengan alasan-alasan di atas kurang dapat diterima, karena menurut Pak Usman, dalam kenyataannya dari dulu -sej ak ronggeng dikenal di daerah Pasaman- sampai sekarang “ronggeng” itu adalah seorang pria. Dengan begitu, pendapat yang tersebut kedua lebih dapat diterima. Dengan kata lain, para pekerja perkebunan yang berasal dari Jawalah yang berkemungkinan besar memperkenalkan tradisi itu, dan ketika diperkenalkan itu, ia langsung disesuaikan dengan budaya yang baru, yaitu budaya Minangkabau.
Jadi, sejak ronggeng itu diperkenalkan oleh para pekerja itu, sejak itu pula ia menj adi bagian yang khas dari tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Pasaman, khususnya Pasaman Barat, sampai sekarang ini. Ronggeng Pasaman tidak sama atau sama sekali berbeda dengan ronggeng Jawa. Mengapa demikian? Pantun sebagai unsur utama atau unsur inti dalam ronggeng Pasaman menunjukkan kenyataan itu. Selain itu, bahasa yang digunakan dalam ronggeng Pasaman ini, yakni bahasa Minangkabau dan atau campuran bahasa Minangkabau dengan bahasa Mandailing, memperkuat pemyataan di atas. Apalagi, irama musik pengiringnya adalah irama musik Melayu dan “ronggeng”nya adalah seorang pria berpakaian wanita. ***
Penulis adalah Staf Pengajar Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Andalas, Padang

LEGENDA NASUTION

Legenda Marga Nasution
Si Baroar


Si Baroar adalah sebuah legenda yang mengisahkan tentang asal-usul orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution di daerah Sumatra Utara, Indonesia. Menurut cerita, si Baroar adalah anak yatim piatu yang berwajah tampan. Ia memiliki wajah yang sangat mirip dengan wajah putra Sutan Pulungan, Raja dari Kerajaan Huta Bargot. Kemiripan wajah kedua anak tersebut membuat Sutan Pulungan dan permaisurinya merasa sangat terhina, karena rakyatnya seringkali keliru menyapa kedua anak itu. Akhirnya, Sutan Pulungan memutuskan untuk membunuh si Baroar. Berhasilkah Sutan Pulungan membunuh si Baroar? Ikuti kisah selengkapnya dalam cerita Si Baroar berikut ini!
* * *
Alkisah, di Mandailing, Sumatra Utara, terdapat sebuah kerajaan kecil yang bernama Huta Bargot. Kerajaan tersebut terletak di seberang Sungai Batang Gadis. Rajanya yang bergelar Sutan Pulungan. Ia mempunyai seorang permaisuri dan putra yang masih bayi. Di sela-sela kesibukannya mengurus kerajaan, Sutan Pulungan sering meluangkan waktu pergi ke tengah hutan untuk berburu rusa.


Pada suatu hari, Sutan Pulungan bersama beberapa orang hulubalang dan prajuritnya berburu rusa di sebuah hutan lebat. Sutan Pulungan membawa anjing pemburu kesayangannya yang sangat pintar dan tangkas bernama Sipamutung. Ketika mereka sampai di tengah hutan, Sipamutung tiba-tiba berlari kencang menuju ke suatu tempat. Tak berapa lama kemudian, ia pun terdengar menyalak dengan serunya. Mendengar salakan anjing kesanyangannya tersebut, Sutan Pulungan segera memerintahkan prajuritnya pergi ke tempat Sipamutung menyalak.
“Prajurit! Cepatlah kalian susul si Pamutung! Aku yakin dia pasti menemukan rusa!” seru Sutan Pulungan kepada prajuritnya.
Mendengar perintah itu, beberapa orang prajurit segera berlari ke tempat Sipamutung menyalak. Setibanya di tempat itu, mereka melihat sebuah banyangan perempuan berkelebat lari dari bawah sebatang pohon beringin besar. Sementara Sipamutung masih terus menyalak. Ketika para prajurit tersebut mendekat dan memeriksa ke bawah pohon itu, tampaklah seorang bayi laki-laki tampan terbaring di atas sebuah batu besar. Tak berapa lama kemudian, Sutan Pulungan pun tiba di tempat itu.
“Hai, Prajurit! Mana rusa itu?” tanya Sutan Pulungan.
“Ampun, Baginda! Ternyata Sipamutang menyalak bukan karena menemukan rusa, tapi seorang bayi,” jawab seorang prajurit.
“Apa katamu? Seorang bayi?” tanya Sutan Pulungan terkejut seraya mendekati bayi tersebut.
“Siapa yang meletakkan bayi di atas batu ini?” Sutan Pulungan kembali bertanya. “Ampun, Baginda! Hamba juga tidak tahu. Tapi, saat baru tiba, hamba dan prajurit lainnya melihat seorang perempuan berkelebat dengan sangat cepat meninggalkan tempat ini,” jawab seorang prajurit lainnya.
Mendengar penjelasan prajurit tersebut, Sutan Pulungan pun yakin bahwa bayi itu sengaja dibuang oleh orang tuanya. Akhirnya, ia bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti berburu dan segera membawa pulang bayi malang itu. Setibanya di Negeri Huta Bargot, Sutan Pulungan menyerahkan bayi itu kepada seorang janda tua bernama si Saua, yang sejak lama mendambakan seorang anak.
“Terima kasih, Baginda! Hamba akan merawat bayi ini seperti anak kandung hamba sendiri,” ucap janda tua itu dengan senang hati.
Setiap kali pergi bekerja ke sawah, perempuan tua itu meletakkan bayi tersebut di dalam baroar, yakni kandang anjing. Oleh karena itu, orang-orang pun menamakan anak itu si Baroar.
Waktu terus berjalan. Si Baroar telah berusia lima tahun dengan wajah yang sangat tampan. Namun anehnya, wajah dan perawakan si Baroar sangat mirip dengan putra Sutan Pulungan, sehingga orang-orang di sekitarnya tidak dapat lagi membedakan keduanya. Orang-orang sering keliru menyapa ketika bertemu dengan salah seorang dari kedua anak tersebut. Jika si Baroar berjalan-jalan sendirian, orang-orang yang bertemu dengannya selalu memberi hormat kepadanya dan menyapanya seperti menyapa putra Sutan Pulungan. Tetapi sebaliknya, jika bertemu dengan putra Sutan Pulungan, mereka memperlakukannya seperti anak orang kebanyakan.
Saat mengetahui putranya sering mendapat perlakuan demikian dari orang-orang di sekitarnya, Sutan Pulungan dan permaisurinya merasa sangat terhina. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membunuh si Baroar secara rahasia agar tidak diketahui oleh orang banyak.
Pada suatu hari, Sutan Pulungan mengumpulkan seluruh pembesar kerajaan untuk menyusun rencana pembunuhan rahasia tersebut. Dalam sidang tersebut, ia memerintahkan kepada pembesarnya agar segera menyelenggarakan upacara adat Sopo Godang, yakni upacara penggantian tiang besar balai sidang yang sudah lapuk. Sutan Pulungan akan menyelenggarakan upacara adat tersebut secara besar-besaran di istana Kerajaan Huta Bargot, karena ia ingin memanfaatkan keramaian itu untuk menutupi perbuatannya membunuh si Baroar.
“Bagaimana caranya kami membunuh si Baroar, Baginda?” tanya seorang hulubalang. “Sebelum memasukkan tiang pengganti ke dalam lubang tempat menanamnya, terlebih dahulu kalian harus menjatuhkan si Baroar ke dalam lubang tersebut, dan menimpanya dengan tiang pengganti,” jelas Sutan Pulungan. Sutan Pulungan juga memerintahkan kepada seorang hulubalang untuk memberi tanda silang pada kening si Baroar dengan kapur sirih.
“Ampun, Baginda! Kenapa si Baroar harus diberi tanda silang?” tanya hulubalang lainnya ingin tahu.
“Maksudnya adalah agar kalian bisa membedakan secara pasti yang mana si Baroar dan yang mana pula putraku, sehingga kalian tidak keliru membunuh si Boroar,” jelas Sutan Pulungan.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, para pembesar kerajaan segera menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam upacara Sopo Godang tersebut. Begitu pula hulubalang yang telah ditunjuk oleh sang Raja segera mencari si Baroar untuk memberi tanda silang pada keningnya.
Pada hari yang telah ditentukan, upacara adat itu segara akan dilaksanakan. Seluruh rakyat negeri yang akan mengikuti upacara adat tersebut telah berkumpul di halaman istana. Dalam upacara tersebut Sutan Pulungan juga menyelenggarakan berbagai atraksi dan pertunjukan seni. Hal ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian para warga yang hadir agar para hulubalang dapat melaksanakan tugas untuk membunuh si Baroar tanpa sepengetahuan mereka.
Ketika para warga sedang asyik bersuka ria, para hulubalang pun menyiapkan tiang untuk dimasukkan ke dalam lubang. Kebetulan saat itu, mereka melihat si Baroar yang sudah diberi tanda di keningnya sedang berdiri tidak jauh dari mereka. Secara sembunyi-sembunyi, mereka segera menangkap dan menjatuhkan si Baroar ke dalam lubang, kemudian menimpanya dengan tiang besar. Tak seorang pun yang mengetahui perbuatan mereka, karena para warga sedang asyik bersuka ria. Para hulu balang pun merasa lega dan gembira, karena berhasil menjalankan tugas dengan lancar. Demikian pula yang dirasakan oleh Sutan Pulungan, karena si Baroar yang selalu membuatnya terhina telah mati.
Namun, sejak acara tersebut dilaksanakan, putra Sutan Pulungan tidak pernah lagi terlihat di istana. Seluruh keluarga istana menjadi panik dan segera mencari putra Sutan Pulungan. Mereka telah mencarinya di sekitar istana, namun mereka tetap tidak menemukannya. Sutan Pulung pun mulai cemas, jangan-jangan para hulubalangnya keliru dalam menjalankan tugas. Untuk itu, ia pun segera mengutus seorang hulubalang pergi ke rumah si Saua untuk melihat apakah si Baroar masih bersamanya. Ternyata benar. Sesampainya di sana, utusan melihat si Baroar sedang membelah kayu bakar bersama si Saua. Ia pun segera kembali ke istana untuk melaporkan hal itu kepada sang Raja.
“Ampun, Baginda! Ternyata si Baroar masih hidup. Ia masih bersama janda tua itu,” lapor utusan itu.
Mendengar laporan itu, Sutan Pulungan langsung naik pitam. Ia sangat marah kepada para hulubalangnya yang telah keliru menjalankan tugasnya.
“Hai, para Hulubalang! Kalian telah salah membunuh. Anak yang kalian masukkan ke dalam lubang itu adalah putraku, bukan si Baroar!” seru Sutan Pulungan dengan wajah memerah.
Rupanya kekeliruan itu bermula beberapa saat sebelum upacara adat tersebut dilaksanakan. Putra Sutan Pulungan melihat tanda silang pada kening si Baroar. Karena ingin seperti si Baroar, ia pun menyuruh seseorang untuk membuat tanda yang serupa di keningnya. Kemudian ia pergi ke tengah keramaian upacara, dan pada saat itulah para hulubalang menangkapnya secara sembunyi-sembunyi, lalu memasukkannya ke dalam lubang.
Sutan Pulungan yang telah kehilangan putranya segera memerintahkan tiga orang hulubalangnya untuk membunuh si Baroar. Ketiga hulubalang itu pun segera menuju ke rumah si Baroar dengan pedang terhunus. Saat tiba di sana, mereka tidak menemukan si Baroar dan si Saua.
Rupanya, ada orang yang mengetahui rencana pembunuhan yang akan dilakukan oleh para hulubalang tersebut terhadap si Baroar. Orang itu pun memberitahu si Saua agar segera menyelamatkan si Baroar. Jadi, sebelum para hulubalang tersebut tiba di rumahnya, si Saua telah membawa lari si Baroar ke daerah persawahan yang sedang menguning padinya, tak jauh dari tepi Sungai Batang Gadis.
Ketika sampai di daerah persawahan, si Saua mengajak si Baroar untuk bersembunyi di sebuah gubuk yang atapnya hanya tinggal rangkanya yang berdiri di tengah sawah. Sebab, ia yakin bahwa para hulubalang tersebut pasti akan mengejar dan mendapati mereka sebelum tiba di tepi sungai.
“Anakku! Kita bersembunyi di sini saja! Kalau kita terus berlari, mereka pasti akan menangkap kita, karena mereka bisa berlari dengan cepat!” ujar si Saua seraya merangkul tubuh si Baroar. Para hulubalang tersebut tiba-tiba kehilangan jejak. Saat melihat sebuah gubuk di tengah sawah, mereka pun mendekatinya. Ketika sampai di dekat gubuk itu, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Si Saua dan si Baroar pun semakin ketakutan, karena mengira para hulubalang tersebut mengetahui keberadaan mereka. Namun ternyata, para hulubalang tersebut berhenti melangkah, karena melihat ada seekor burung balam sedang bertengger di puncak kerangka atap gubuk itu sambil terus berkicau.
“Ayo kawan-kawan kita cari mereka di tempat lain! Untuk apa kita cari di si janda tua dan si Baroar di gubuk itu. Kalau mereka bersembunyi di situ, tidak mungkin burung balam itu bertengger di atas sana!” seru hulubalang yang memimpin pengejaran itu.
Setelah para hulubalang tersebut cukup jauh dari gubuk itu, si Saua dan si Baroar keluar dari gubuk itu dan berlari menuju ke arah Sungai Batang Gadis. Namun sialnya, para hulubalang melihat mereka lagi.
“Hai, itu mereka! Ayo kita kejar!” seru pemimpin hulubalang. Si Saua dan si Baroar pun berlari semakin cepat. Ketika mereka tiba di tepi sungai, ternyata Sungai Batang Gadis sedang banjir besar, sehingga mereka tidak dapat menyeberang. Sementara para hulubalang yang mengejarnya semakin dekat. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dalam keadaan nyawa terancam, si Saua segera bersujud ke tanah memohon pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa.
“Ya Tuhan! Selamatkanlah nyawa kami!” ucap si Saua.
Ketika mengangkat kepalanya kembali, si Saua melihat sebatang kayu besar yang amat panjang hanyut melintang di tengah sungai. Anehnya, kayu besar itu berhenti tepat di hadapan mereka dalam keadaan melintang sampai ke seberang. Tanpa berpikir panjang dan merasa takut sedikit pun, janda tua itu dan si Baroar segera meniti kayu besar itu. Begitu tiba di seberang sungai, kayu besar itu kembali hanyut terbawa arus banjir. Para hulubalang yang baru tiba di tepi sungai tak dapat lagi mengejar mereka. Akhirnya, si Saua dan si Baroar selamat dari kematian.
Konon, beberapa tahun kemudian, di seberang Sungai Batang Gadis tersebut berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Panyabungan Tonga-Tonga yang dipimpin oleh si Baroar bersama permaisurinya. Keturunannya kemudian dikenal sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution.
* * *
Demikian cerita Si Baroar dari daerah Sumatra Utara, Indonesia. Menurut masyarakat penutur cerita ini, cerita Si Baroar termasuk katogeri legenda mengenai asal-usul orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution. Hingga saat ini tempat yang bernama Huto Bargot dan Panyabungan Tonga-Tonga tersebut menjadi nama dua desa di Mandailing. Di Desa Panyabungan Tonga-Tonga terdapat sebuah makam tua yang dipercaya sebagai makam si Baroar.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa seseorang yang berniat jahat kepada orang yang tak bersalah, maka dia sendiri yang akan tertimpa musibah. Hal ini ditunjukkan oleh perilaku Sutan Pulungan yang telah berusaha untuk membunuh si Baroar, akan tetapi putranya sendiri yang terbunuh